Mengganti zakat fitrah (zakat fitri) dengan uang
Assalamu ‘alaikum. Ustadz, bagaimana jika saya membayar zakat fitrah dengan uang, bukan dengan makanan pokok? Apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam? Jazakallahu khairan.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Masalah ini termasuk kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.
Sebagian melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang secara mutlak, sebagian memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tetapi dengan bersyarat, dan sebagian lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya, pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadahan yang mereka lakukan. Seringnya, orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi), padahal sudah ada dalil yang tegas.
Uraian ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, ulasan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya untuk mewujudkan penjagaan terhadap sunah Nabi dan dalam rangka menerapkan firman Allah, yang artinya, “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apa pun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.s. An-Nisa’:59)
Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka setiap ada masalah, dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Alquran dan As-Sunnah. Siapa saja yang tidak bersikap demikian, berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari akhir.
Pada penjelasan ini, terlebih dahulu akan disebutkan perselisihan pendapat ulama, kemudian di-tarjih (dipilihnya pendapat yang lebih kuat). Pada kesempatan ini, Penulis akan lebih banyak mengambil faidah dari risalah Ahkam Zakat Fitri, karya Nida’ Abu Ahmad.
Perselisihan ulama “zakat fitrah dengan uang”
Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitrah dengan uang). Pendapat pertama, memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang. Pendapat kedua, melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali kepada status zakat fitri. Apakah status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan?
Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak, pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.
Sebaliknya, jika status zakat fitri (zakat fitrah) ini sebagaimana zakat badan maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran kafarah untuk semua jenis pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan, bukan kewajiban karena harta. Pembayaran kafarah harus menggunakan sesuatu yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan.
Jika seseorang membayar kafarah dengan selain ketentuan yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadan, tanpa alasan yang dibenarkan. Kafarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, jika dia tidak menemukan budak. Demikian pula, dia tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga, tidak boleh memberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.
Di manakah posisi zakat fitri (zakat fitrah)?
Sebagaimana yang dijelaskan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) itu mengikuti prosedur kafarah karena zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan, bukan zakat harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah zakat badan –bukan zakat harta– adalah pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri.
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah), sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa dan perbuatan atau ucapan jorok ….”(H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri berstatus sebagai zakat badan, bukan zakat harta. Berikut ini adalah beberapa alasannya:
Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak; seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri berstatus sebagaimana kafarah untuk kekurangan puasa seseorang.
Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana kafarah?
Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri itu sebagaimana kafarah:
Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.
Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Dengan demikian, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 25:73)
Sebagai tambahan wacana, berikut ini kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini.
Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang
Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Atha’, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah.
Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa beliau mengatakan, “Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham.”
Diriwayatkan dari Abu Ishaq; beliau mengatakan, “Aku menjumpai mereka (Al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang menunaikan zakat Ramadan (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan.”
Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwa beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak).
Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang
Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah jika membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut ini nukilan perkataan mereka.
Perkataan Imam Malik
Imam Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al-Mudawwanah Syahnun)
Imam Malik juga mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri senilai satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri).” (Ad-Din Al-Khash)
Perkataan Imam Asy-Syafi’i
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad-Din Al-Khash)
Perkataan Imam Ahmad
Al-Khiraqi mengatakan, “Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)
Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)
Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan, “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’ Ada beberapa orang yang menolak sunah dan mengatakan, ‘Fulan ini berkata demikian, Fulan itu berkata demikian.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2:671)
Zahir mazhab Imam Ahmad, beliau berpendapat bahwa pembayaran zakat fitri dengan nilai mata uang itu tidak sah.
Beberapa perkataan ulama lain:
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)
Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Mazhab Syafi’i) mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar, 1:195)
An-Nawawi mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak boleh membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al-Majmu’)
An-Nawawi mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu’)
Asy-Syairazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat karena kebenaran adalah milik Allah. Allah telah mengkaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berkurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak, maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al-Majmu’)
Ibnu Hazm mengatakan, “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasulullah.” (Al-Muhalla bi Al-Atsar, 3:860)
Asy-Syaukani berpendapat bahwa tidak boleh menggunakan mata uang kecuali jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.” (As-Sailul Jarar, 2:86)
Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Al-Utsaimin, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi, dan yang lain. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat, karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri dengan mata uang. (Minhajul Muslim, hlm. 251)
Dalil-dalil masing-masing pihak
Dalil ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang:
- Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak memiliki dalil nash (Alquran, al-hadits, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.
- Istihsan (menganggap lebih baik). Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin daripada bahan makanan.
Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri harus dengan bahan makanan.
- Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
- “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … sebagai makanan bagi orang miskin .…” (H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
- Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Dahulu, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, satu sha’ gandum, satu sha’ kurma, satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur kering.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
- Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Dahulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan, “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (H.r. Al-Bukhari, no. 1439)
- Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitri). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil menangkapnya ….”(H.r. Al-Bukhari, no. 2311)
1. Zakat fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.
Termasuk yang telah ditetapkan dalam masalah zakat fitri adalah jenis, takaran, waktu pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan. Seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fitri selain jenis yang telah ditetapkan, sebagaimana tidak sah membayar zakat di luar waktu yang ditetapkan.
Imam Al-Haramain Al-Juwaini Asy-Syafi’i mengatakan, “Bagi mazhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Pelaksanaan semua perkara yang merupakan bentuk ibadah itu mengikuti perintah Allah.” Kemudian beliau membuat permisalan, “Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya (wakilnya), ‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih manfaat bagi majikannya (daripada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal itu lebih bermanfaat daripada perintah majikannya . (Jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pent.) maka perkara yang Allah wajibkan melalui perintah-Nya tentu lebih layak untuk diikuti.”
Harta yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi manusia hanyalah sebagaimana wakil. Sementara, wakil tidak berhak untuk bertindak di luar batasan yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kita untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan selain makanan, maka sikap ini termasuk bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman. Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan Allah. Jangan sekali-kali melibatkan campur tangan akal dalam masalah ibadah karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.
Oleh karena itu, membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana telah diketahui bersama, ibadah yang ditunaikan tanpa sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya adalah ibadah yang tertolak.
2. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.
Akan tetapi, yang Nabi praktikkan bersama para sahabat adalah pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan, bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang paling memahami kebutuhan umatnya dan yang paling mengasihi fakir miskin. Bahkan, beliaulah paling berbelas kasih kepada seluruh umatnya.
Allah berfirman tentang beliau, yang artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat berbelas kasi lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.s. At-Taubah:128)
Siapakah yang lebih memahami cara untuk mewujudkan belas kasihan melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Sumber: https://konsultasisyariah.com/7001-zakat-fitrah-dengan-uang.html
Bolehkah Membayar Zakat Fitrah Dengan Uang?
Jawaban
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Terimakasih atas pertanyaan Ananda. Sebelum menjawab pertanyaan Ananda, sebaiknya kita perhatikan dulu apa itu zakat dan apa syarat-syarat wajib zakat yang dapat kami jelaskan berikut ini:
A. Zakat Fitrah
Zakat fitrah tersusun dari dua suku kata zakat dan fitrah, zakat yang artinya sedekah yang diwajibkan, sedangkan fitrah atinya tabi’at, karakater, pembawaan. Zakat fitrah dapat dikatakan zakat pribadi yang dikeluarkan Hari Raya Idul Fitri sebelum palaksanaan Shalat ‘Id dengan tujuan untuk mensucikan jiwa dan tabiat. Zakat fitrah juga dinamakan dengan zakat Fitri karena dikeluarkan pada malam Hari Raya Idul Fitri”. Para fuqaha menyebut zakat ini pula dengan zakat kepala, zakat perbudakan, atau zakat badan.
B. Syarat – Syarat Wajib Zakat Fitrah
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yamg lima, Oleh karena itu, zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap orang mukmin bila telah memenuhi syarat-syarat yang disepakati oleh mazhab empat, sebagai berikut :
1. Islam
Harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah milik orang Islam sehingga tidak wajib zakat bagi orang-orang kafir
2. Merdeka
Orang yang mengeluarkan zakat fitrah adalah orang merdeka sehingga tidak wajib terhadap budak atau hamba sahaya.
3. Adanya kelebihan dari makananya dan orang yang wajib nafkah baginya.
C. Membayar Zakat Fitrah dengan Uang
Dalam mazhab kita (mazhab Syafi’ie) zakat fitrah wajib dikeluarkan dengan menggunakan qut (makanan pokok yang mengenyangkan), akan tetapi golongan yang bermazhab Syafi’i berbeda pendapat tentang qut yang digunakan dalam menunaikan zakat fitrah. Di antara mereka ada yang berpendapat qut yang digunakan adalah qut balat yaitu makanan pokok yang dikonsumsi oleh suatu daerah, sekalipun muzakki (penunai zakat fitrah) tidak mengkonsumsinya. Sebahagian yang lain berpendapat qut yang digunakan adalah qut dirinya yaitu makanan pokok yang ia konsumsi walaupun daerah tersebut mengkonsumsi jenis makanan yang lain. Ada juga yang berpendapat boleh kedua-duanya, Imam Syafi’i juga berpendapat jika dalam suatu daerah ada beberapa macam makanan pokok yang dikonsumsi, maka boleh mengeluakan zakat fitrahnya qut apa saja yang diinginkannya. (Imam an-Nawawi Raudhah at-Thalibin. Beirut: Darul Ibnu Hizm, hal. 312)
Namun Imam Hanafi berpendapat bahwa jenis makanan yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah hintah (gandum), syair (padi belanda), tamar (kurma), zabib (anggur), beliau juga berpendapat boleh pula mengeluarkan daqiq hintah ( gandum yang sudah menjadi tepung) dan saweq (adonan tepumg) Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda :
ادوا قبل الخروج زكاة القطر فان علي كل مسلم مدا من قمح او دقيق
Artinya: “Tunaikanlah zakat fitrah sebelum kamu keluar untuk sembahyang, maka wajib atas setiap orang merdeka mengeluarkan dua mud gandum dan daqiq (tepung dari gandum)”.( Sulaiman bin Asy’as Sajastany Abu Daud, Sunan Abu Daud, hal. 254. diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas yang maknanya sama).
Di samping itu Imam Abu Hanifah juga berpendapat boleh pula mengeluarkan zakat fitrah dengan cara menghargakan makanan yang disebutkan di atas dengan menggunakan uang atau barang-barang yang lain dari apa saja yang dikehendakinya, bahkan beliau berpendapat mengeluarkan uang lebih baik dari pada menggunakan qut (makanan pokok yang dapat disimpan dan tahan lama) dikarenakan uang lebih banyak manfaatnya dan bisa digunakan untuk kebutuhan yang diinginkan fakir miskin.
Rasulullah s.a.w. bersabda :
اغنواهم عن المسألة فى مثل هذا اليوم
Artinya : “Perkayakanlah orang-orang miskin dari meminta-minta pada hari ini”. (Baihaqi, Sunan Kubra, Mesir: Maktabah Baitu Muslem as-Syamilah, 2000, jilid IV, hal.175. )
Hadits diatas menganjurkan kita memperkaya orang miskin yaitu memenuhi kebutuhannya, untuk memenuhi kebutuhan para fuqaraa (orang-orang miskin) boleh dengan cara memberi makanan, boleh pula dengan memberikan uang atau barang yang lain, bahkan menggunakan uang lebih cocok dalam menunaikan hajat para fuqaraa, dan sipemberi pun lebih mudah dalam menunaikannya. Dan Abu Yusuf berkata : “aku lebih cinta mengeluarkan daqiq dari pada gandum kemudian uang lebih baik dari pada daqiq dan gandum karena uang lebih dominan dalam menunaikan kebutuhan orang-orang fakir (Syamsuddin Sarkhasy, al-Mabsud, Bairut: Maktabah Figh Islamy, Aris Computer Inc, 2002 juzuk III hal. 103. Lihat juga ‘Ilauddin Samarkandi, Tuhfatul Fuqaha, Bairut: Maktabah Figh Islamy, Aris Computer Inc, 2002, jilid III hal. 327).
D. Dalil – Dalil Mazhab Syafi’ie
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abi Said al-Khudry
أَخْبرَنَا الرَّبِيع، قال: أَخْبَرَنَا الشَّافعي، قَالَ: أَخْبَرَنَا أنَسُ بنُ عَيَاضٍ عَنْ دَاوُدَ بن قَيْسٍ سَمِعَ عِيَاضَ بن عَبْدِ اللَّهِ بن سَعْدٍ يقولُ: إنَّ أبَا سعيد الخدري يقولُ: «كُنَّا نُخْرِجُ فِي زَمَانِ النَّبِي صَاعَاً مِنْ طَعَامٍ، أوْ صَاعَاً مِنْ أَقِطٍ، أوْ صَاعَاً مِنْ زَبِيْبٍ، أوْ صَاعَاً مِنْ تَمْرٍ، أوْ صَاعَاً مِنْ شَعِيْرٍ، فَلم نَزَلْ نُخْرِجُ ذَلِكَ حَتَّى قَدِمَ مُعَاوِيَة حَاجًّا، أوْ مُعْتَمرَاً، فَخَطَبَ النَّاسَ/ فَكَانَ فِيْمَا كَلَّمَ النَّاسَ بِهِ أنْ قَالَ: «إنِّي أَرَىٰ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعَاً مِنْ تَمْرٍ، فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ فقال ابو سعيد ولم ازال أخرجه كما كنت أخرجه فى زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya :” Diberitakan Rabi’, yang mendengar dari imam Syafi’i, imam Syafi’i mendengar dari Anas bin ‘Iyad dari Daud bin Qais yang mendengar dari ‘Iyat bin Abdullah bin Said bin Abi Sarah bahwa sesungguhnya ia mendengar Aba Said al-Khudry berkata “Adalah kami yang mengeluarkan zakat fitrah pada masa Rasulullahs.a.w, satu sha’ makanan atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ syair atau satu sha’ anggur atau satu sha’susu (susu yang telah beku),demikian kami berbuat hingga datang Muawiyyah yang berhaji atau berumrah maka beliau berkhutbah maka beliau berkata : sesunguhnya aku berpendapat bahwa dua mud gandum syam menyamai sesha’ tamar. setalah itu manusia pun berbuat demikian”. Selain Imam Bukhari memberikan tambahan, bahwa Abu said mengatakan: ”aku tetap mengeluarkan sebagaiman aku dahulu mengeluarkannya pada masa Rasulullah s.a.w. (HR. Bukhari dan Muslem)
Berkata Imam Nawawi, dilalah pada hadits ini bisa dilihat dari dua segi:
Pertama : bahwa ta’am/makanan pada kebiasaan penduduk Hijaz hanyalah untuk gandum saja, apalagi disertai dengan penjelasan lainnya.
Kedua : bahwa dalam hadits ini diterangkan berbagai macam yang harganya berbeda-beda, lalu diwajibkan dari masing-masing satu sha’ maka jelaslah yang dipandang adalah satu sha’nya dan tidak memandang pada harganya (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslem, jilid VII, hal. 60.)
2. Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Sha’labah.
خطب رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل يوم الفطر بيوم او يومين فقال : أدوا صاعا من بر او قمح صاعا من تمر, او صاعا من شعير عن كل حر اوعبد,صغير او كبير
Artinya : “Rasulullah s.a.w berkhutbah sehari sebelum Hari Raya ada yang mengatakan dua hari sebelumnya, maka beliau berkata tunaikannlah zakat fitrah satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, satu sha’ syair dari tiap-tiap orang yang merdeka, dan budak kecil maupun besar.
Dari beberapa hadits di atas maka telah jelaslah bahwa zakat fitrah diwajibkan pada semua jenis qut (makanan pokok yang mengenyangkan) karena Nabi s.a.w. dengan jelas menyebutkan jenis-jenis makanan pokok yang mengenyangkan, jadi tentang mengeluarkan uang tidak disebutkan dalam hadits tersebut. kemudian kadar zakat yang dikeluarkan telah maklum pula dalam hadits yaitu satu sha’, maka Rasulullahs.a.w menyamakan kadar yang dikeluarkan dalam zakat fitrah padahal antara satu jenis dengan yang lain harganya berbeda, seandainya maksud dari hadits di atas kita boleh mengharkan qut yaitu dengan mengeluarkan uang maka pasti Rasullah s.a.w akan menyebutkannya, dan tidak menentukan kadar yang pasti yaitu satu sha’ pada seluruh jenis qut.
3. Diriwayatkan dari Mu’ad Bin Jabal :
"ان رسول الله صلي الله عليه وسلم امره ان يأخذ من الحب حبا, ومن الغنم غنما, ومن الإبل ابلا, ومن البقر بقرا"
Artinya: “Dari Mu’ad Bin Jabal bahwa Rasulullah s.a.w memerintahkan Mua’d untuk mengambil biji-bijian dari zakat bijian dan kambing dari zakat kambing dan unta dari zakat unta dan juga lembu dari zakat lembu". (Sunan Abu Daud)
Imam Nawawi berkata:
وقال إمام الحرمين في «الأساليب»: المعتمد في الدليل لأصحابنا أن الزكاة قربة لله تعالى وكل ما كان كذلك فسبيله أن يتبع فيه أمر الله تعالى ولو قال إنسان لوكيله: اشتر ثوباً وعلم الوكيل أن غرضه التجارة ولو وجد سلعة هي أنفع لموكله لم يكن له مخالفته وإن رآه أنفع، فما يجب لله تعالى بأمره أولى بالإتباع
Artinya : ”Berkata Imam Haramain al-Juwaini : “Dalil yang dijadikan pegangan oleh ashab kami adalah, bahwa zakat itu merupakan pengabdian kepada Allah s.w.t. Dan setiap perbuatan yang demikian, maka harus mengikuti perintah Allah.”apabila seseorang berkata kepada wakilnya : “belilah olehmu sehelai kain, ”dan siwakil mengetahui bahwa maksud orang itu adalah untuk berdagang. Kemudian siwakil menemukan barang perdagangan lain yang lebih bermamfaat bagi orang itu. Akan tetapi baginya tidak boleh menyalahi orang yang diwakilkan walaupun ia mengetahui ada barang lain yang lebih bermanfaat. Maka apa yang diwajibkan Allah s.w.t. lebih utama untuk diikuti. (al-Majmu’ Syarah Muhazzab. jilid V, hal. 403)
E. Bantahan terhadap dalil Abu Hanifah
Bantahan terhadap dalil yang dipergunakan Imam Abu Hanifah, di antaranya hadits yang diriwayatkankan Ibnu Umar dari Rasululla s.a.w
اغنواهم عن المسألة فى مثل هذا اليوم
(“Perkayakanlah orang-orang miskin dari meminta-minta pada hari ni”.)
Hadits ini merupakan perintah untuk membantu fakir miskin yaitu dengan mengeluarkan zakat fitrah pada Hari Raya, bukan secara tegas mengatakan bahwa mengeluarkan zakat fitrah boleh dengan semua jenis harta, sedangkan jenis harta yang wajib dizakati adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasullah s.a.w pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar yang berbunyi : “Rasullah s.a.w mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan terhadap manusia satu sha’ kurma dan satu sha’ gandum….” Hadits tersebut di atas mujmal (umum) karena tidak disebutkan kadar yang dapat membantu fakir miskin dan jenisnya Maka ditafsir oleh hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar (Mawardi. al-Hawi al- Kabir jilid IV, Beirut: Darul Fikri, hal. 152.), dan Dalam kaedah ushul figh hadits yang umum ditakhsis oleh hadits yang khusus.
Jenis-jenis yang disebutkan Rasullah s.a.w adalah merupakan jenis makanan pokok dan tahan lama disimpan, oleh karenanya jenis ini dapat diqiaskan dengan jenis yang lain asalkan merupakan makanan pokok dan dapat disimpan walaupun rasul tidak menyebutkannya.
Dalil Imam Abu Hanifah boleh mengeluarkan harga adalah hadits yang membedakan antara kadar gandum dan kurma dibantah oleh Imam Syafi’i dengan alasan sebagai berikut:
Pertama : Hadits yang diriwayatkan Abu Daud Adullah bin tsha’labah atau Sha’labah bin Abdullah bin Abu Shu’air adalah tidak bisa dijadikan hujjah karena dalam hadits tersebut ada seorang perawi yang tidak ma’ruf yaitu Abu Bakar bin Wail, jadi hadits tersebut tergolong dalam hadits dhaif.
Kedua : Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas merupakan Hadits Mungkati’ Isnad karena datang riwayat sebaliknya
Dalil pada hadits “dan jika tidak diperdadapatkan bintimakhaz (unta betina umur satu tahun maka boleh mengeluarkan ibnulabun (unta jantan umur dua tahun)”. Dalil ini tidak bisa diterima sebagai dalil yang boleh mengeluarkan uang karena hadits di atas disebutkan secara tertib yaitu boleh mengeluarkan ibnulabun bila tidak diperdapatkan bintimakhaz, sedangkan mengeluarkan uang pada zakat fitrah menurut pendapat Imam Abu Hanifah dibolehkan sekalipaun memperdapatkan makanan pokok.
Dalil Imam Abu Hanifah yang ke empat yaitu hadits Mu’az bin Jabal, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah karena ada beberapa alasan di antaranya :
a) Hadits Mu’az tersebut mungqati’, tidak bisa dijadikan hujjah karena thaus tidak mendengarkan dari Mu’ad (Ibnu Hajar Asqalany, Fathul Bari, jld III, hal 313). Sekalipun ada yang mengatakan bahwa thaus adalah Imam penduduk Yaman pada masa Tabi’in dan ia mengetahui keadaan Mu’ad dan khabar-khabarnya, karena masanya pun masih dekat, alasan ini tidak bisa diterima untuk menguatkan sebuah hadits, karena alasan ini tidak keluar hadits tersebut digolongkan Mungkati’
b) Andaikan hadits tersebut shahih, tidaklah Mu’az menceritakan hal itu dalam urusan zakat, akan tetapi maksud beliau adalah jizyah (upeti) (al-Mawaridi, al-Hawi al-Kabir 152. Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab jilid V, hal 404.)
F. KESIMPULAN.
1. Membayar fitrah dengan uang tidak dibolehkan (tidak sah) dalam Mazhab Syafi’ie.
2. Boleh membayar dengan uang menurut mazhab hanafi, tapi yang dihargakan bukan harga beras, melainkan harga hintah (gandum), syair (padi belanda), tamar (kurma), zabib (anggur).
Wallahu A’lam Bi as-Shawab.
http://beritaislamiterkini.blogspot.co.id/2014/09/bolehkah-membayar-zakat-fitrah-dengan.html